Menikmati Rinjani dari Sempana

Berbicara tentang bukit, saya mempunyai teman dekat yang sudah puluhan kali naik ke bukit atau ke gunung yang sama. Saya tidak tahu apa alasan ia melakukan hal yang sama berkali-kali. Entah ingin mengulang moment sebelumnya, sekedar main-main, tuntutan pekerjaan atau lain sebagainya. Adapun beberapa komunitas pecinta alam yang mengunjungi suatu destinasi wisata berkali-kali tanpa merasa bosan. Sempat bertanya ke mereka “Apa aja sih kegiatan kalian ketika berkunjung ke tempat wisata ? Apa Cuma santai-santai doang atau gimana ? Enggak bosen apa ke tempat itu-itu doing ?” Salah satu dari mereka menjawab “Buat santai-santai doang sih. Sekalian bercumbu dengan alam”. Saya tersenyum.

Saya juga suka bermain dengan alam, tapi saya tidak biasanya mengunjungi tempat yang sama lebih dari 2 kali (kecuali memang bener-bener suka ya hehehe). Alasannya karena cepat bosan. Apalagi kalau tempatnya kurang serek di mata dan di hati. Air terjun, pantai, tebing dan sungai adalah destinasi paling sering saya kunjungi setiap tahunnya. Bagaimana dengan bukit ?

Minggu, 18 Maret 2018 adalah hari dimana pertama kalinya saya menguji diri menaiki salah satu bukit tertinggi di Lombok, Bukit Sempana. Terlihat memukau dari kejauhan ketika melewati jalur Pusuk Sembalun. Semangat semakin membara untuk mendaki.


Awalnya saya mengurungkan niat mendaki Sempana karena bulan ketiga tahun ini diguyur hujan. Padahal tahun kemarin tidak. Jadwal musim hujan mulai tidak menentu dari tahun ke tahun. Maklum pemanasan global jadi sumber utama perubahan iklim. Manusia semakin kesulitan memprediksi cuaca. Siangnya dingin kehujanan, malamnya panas kekeringan (kebalik keles wkwkwk).

Modal nekad tetap melaju tanpa ragu. langsung otw dengan rasa penasaran. Titik kumpul di semabalun.  Carrier, sleeping bag, matras tenda dan peralatan camping lainnya terkumpul di satu lokasi pertemuan saya dengan teman-teman kampus. Sempat geleng-geleng kepala sambil berbicara dalam hati “emang barang sebanyak ini dibawa naik sampe ke ujung bukit ? sekitar dua ribu kaki dari permukaan lho!” Wajar aja kalo saya heran, wong pertama kali muncak. Lucunya lagi, saya cumabawa ransel dan peralatan pribadi doang. Untung ada teman-teman yang baik hati nan penyanyang, eaaakk.


Di perjalanan, langit menampakkan cahayanya sampe-sampe bikin gosong. Parkiran diramaikan oleh berbagai jenis pengunjung lokal dan mancanegara. Ada si kulit hitam, si kulit putih, sawo mateng dan warna lainnya. Lupa berapa harus bayar parkir waktu itu karena bayarnya rombongan gitu. Tapi tenang, bayarnya gk perlu kredit atau ngutang. Cukup dengan uang cash, Anda tinggal meluncurrr hehehe.

Api-api semangat kian membara setelah bertemu jalan setapak. Hentakan kaki terdengar keras dengan alunan perbincangan para pengunjung. Saya asik membayangkan keindahan puncak sempana. “Kalo capek, istirahat aja. Jangan sok jaim hahaha” teman saya nyeletuk. “Paling kamu saq paleng bajulu bareh leq tengaq langan. Tumbenm aran taek semeniq endah (Palingan kamu yang pingsan duluan nanti di tengah jalan. Kamu kan juga tumben naik beginian)” jawabku agak mengejek dengan dialek sasak.

Kerikil, air, batu, sawah, pepohonan kami lewati sambil bersenda gurau bak burung merpati. Sesekali beristirahat sambil makan siang. Tidak lupa juga mengisi cairan biar gk dehidrasi. Baru seperempat perjalan, kaki dan jantung sama-sama bergetar keras. Untung tidak menyebabkan kanker, serangan jantung, ipotensi dan gangguan kehamilan dan janin.


Saking berbahayanya penyakit diatas, salah satu teman saya tidak sanggup melanjutkan hijrah ke tanah indah. Ia memutuskan kembali ke kayangan sabab takut ketinggian. Postur tubuh temen saya saya ini paling gede di antara rombongan kami (anggap aja dia hilap). Padahal udah di tengah perjalanan. Sayang banget kan gaes. Kalo dilihat dari atas memang bikin kaki ngilu. Kebayang jatoh terus kejedot kayu/batu. Btw, jangan marah ya bro. Kan cuma becanda hehehe *Salam Damai!


Tadi pagi cerah, udah siang gini langitnya malah mau nangis. Mungkin belum move on sama yang kemarin, eeiitss jangan curhat. Baru kali ini lihat awan mendung di depan mata. Cuaca mulai terasa dingin. Rintik-rintik terasa di kulit pertanda akan datangnya mantan eh hujan. Lama-lama kok makin gede ya. Badan basah kuyup. Lutut terasa berat menopang tubuh. Ditambah lagi kondisi tanah semakin licin akibat hujan. Serasa tidak sanggup lagi berjalan. Mau balik tapi udah kejauhan. “Ya Tuhan… Apakah hidup saya akan berakhir disini ?” menangis dalam hati.


Kami mengambil posisi jongkok beratapkan tikar plastik. Lumayan bisa terhindar derasnya air. Lumayan menggigil juga. Barang-barang bawaaan kami habis basah. Telpon genggam masih aman terkendali. Menurut saya benda ini paling penting. Selain praktis, benda ini biasanya saya gunakan untuk mengabadikan moment di setiap perjalanan hidup. Derita gk punya DSLR. Hiks!

Selepas hujan, kami melanjutkan pendakian. Jalanan masih licin. Betapa bersyukurnya saya masih ada rumput-rumput panjang untuk pegangan. Jika tanpa sang rumput, maka kaki akan terpeleset lalu jatuh ke jurang yang luar biasa wow itu. Tidak ada makhluk yang diciptakan sia-sia oleh Tuhan.


Sebagian dari rombongan kami belum sampai ke tempat kemah, termasuk saya. Malam setia menemani perjalanan kami. Ketika hampir sampai di tempat kemah, ada salah satu anggota dari rombongan lain yang terkena keram dan demam. “Inaaq… Inaaaq…(Ibuu… Ibuuu…)” teriak laki-laki itu kesakitan. Semua orang yang ada disekitarnya langsung histeris dan khawatir. Ada pendaki berprofesi perawat membantu meringankan kondisinya. Teman saya juga ikut membantu dengan memeluk laki-laki itu agar demamnya tidak semakin parah karena dingin. Bingung gimana caranya dia dibawa turun nanti. Udah kedung jauh, gelap pula. Saya cuma bisa berdo’a biar dia dan kami semua di tempat ini baik-baik aja. Tumben nyimak kondisi sepanik ini.

Pukul 8.30 WITA, kami berkemah di dataran tinggi berpohon panjang (gk tau nama pohonnya ckckck). Semalaman gk bisa tidur efek dingin yang menusuk sampe ke tulang terdalam. Mungkin akibat hujan juga. Beberapa jam kemudian, teman kami kena keram di sekujur tubuhnya. “Udah dua orang begini, berikutnya siapa lagi ? Semoga gk ada lagi ya Tuhan…” do’a dalam hati.

Adzan subuh terdengar dari berbagai sudut. Serpihan sunrise keluar dari arah timur. Kami berencana untuk menelusuri puncak sempana sebelum matahari terbit sehingga ketika sampai di puncak, golden hour tampak jelas dari kejauhan.



Rencana sesuai target gaes... Di penghujung puncak, sinar oranye menyinari padang savana. Angin pagi merayu raga untuk menetap selamanya disana. Aroma, suasana dan aura berbeda dari biasanya membuat saya menyesal terlalu banyak mengeluh sebelum sampai kesini. Saya tidak menyangka berdiri dengan ketinggian 2329 meter di atas permukaan laut (mdpl).



Menoleh ke barat, mata dimanjakan oleh pemandangan Rinjani. Bukit Teletabis menjulang tinggi membelakangi matahari. Keduanya seakan-akan mengapit Bukit Sempana. Sorry saya terlalu puitis hahahaha.

Lebih baik simak video berikut ini yah :


Pengen lanjut ke Rinjani. Serangan gempa lombok tanggal 29 Juli 2018 lalu, kemungkinan trekking Rinjani rute senaru dan sembalun ditutup sampai 2020. Tapi jangan khawatir, teman-teman bisa mendaki melalui rute Benang Stokel, Lombok Tengah. Semoga Lombok cepat pulih. Amiin...!!



Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

KESEHATAN ANAK : Hindari Kebiasaan Buruk pada Rongga Mulut/Gigi

21st Century Online Bootcamp by Sprout Academy SEA

Masjid Klenteng Al Ridwan