Gempa dan Spirit Bangkit
Sudah
22 tahun saya menjalani hidup di bumi, khususnya di Lombok. Selama umur yang
berpuluh-puluh tahun ini, saya baru menemukan gempa dengan kekuatan 7.0 SR
(versi BMKG) mengguncang tanah Lombok. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 5
Agustus 2018, pukul 19.46 WITA dengan pusat gempa di Kabupaten Lombok Utara
(KLU).
Malam
itu saya sedang ada kegiatan KKP (Kuliah Kerja Partisipatif) di Desa Lelong,
Kecamatan Praya Tengah, Kabupaten Lombok Tengah. Saya tinggal di Lombok bagian barat, tepatnya
di Desa Kekeri, Kecamatan Gunungsari. Berada jauh dari keluarga membuat
saya dan rekan-rekan KKP lainnya panik
di posko. Ada yang nangis-nangis, pingsan, kebingungan dan lain sebagainya.
Saya hanya bisa terdiam sambil berdo’a dalam hati (saking shock-nya). Kaki dan tangan gemeteran. Jantung berdetak keras.
Malam yang tidak bisa dilupakan hingga akhir hayat.
Beberapa
menit setelah gempa terjadi, saya mencoba menghubungi ibu. Lima kali panggilan
tidak terjawab karena sinyal tiba-tiba blank
saat gempa terjadi. Panik, khawatir, bingung dan takut bercampur jadi satu.
Saya hanya bisa melihat kegelepan (saat gempa, listrik langsung mati) dan
mendengar isak tangis tiada henti. 30 menit kemu dian, saya bisa menghubungi
ibu saya. Keadaan di desa Kekeri kisruh akibat info gempa berpotensi tsunami dari BMKG yang kemudian
info tersebut dicabut 15 menit pasca gempa.
Hari Pertama Pasca Gempa…
Saya
izin dari posko untuk pulang mengunjungi keluarga. Di sepanjang jalan saya
melihat genteng rumah berjatuhan, tembok rumah retak-retak bahkan ada yang
miring, tenda-tenda biru beralaskan tikar serta wajah-wajah sedih dan
ketakutan. Tapi tidak sedikit juga rumah yang masih berdiri kokoh tanpa
penghuni.
Tiba di rumah Kekeri, saya menyaksikan keadaan tempat tinggal saya sama dengan apa yang saya saksikan di perjalanan tadi. Saya begitu sedih melihat raut wajah ibu saya yang pucat dan kelelahan karena tidak tidur semalaman. Ibu saya selalu kaget dan ingin keluar rumah setiap merasakan getaran kecil di bawah kakinya. Namun saya tetap berusaha menangkannya sebisa saya. Saya hanya berkata “Ma, itu cuma suara truk lewat depan rumah !”. Rumah ibu saya berada di pinggir jalan, jadi kami tidak bisa membedakan mana gempa kecil dan mana suara kendaraan. Baru kali ini merasakan trauma akut.
Kota Duka… (7 Agustus 2018)
Tiga
hari pasca gempa saya bersama teman-teman rumah pergi mengunjungi KLU (saya menyebutnya kota duka pada saat itu)
untuk mengantar donasi menggunakan truk. Dari atas truk itulah saya melihat 90%
rumah di tempat ini roboh. 10% rumah yang masih berdiri kokoh di tempat itu
adalah rumah bedek (rumah kayu/bambu). Ada juga beberapa rumah hanya atapnya
saja di atas tanah. Di sepanjang jalan saya hanya bisa melongo karena
orang-orang di kota ini sibuk kesana kemari sambil memasang wajah tanpa senyum.
Sirine ambulance melintas dari segala arah. Pemandangan ratusan tenda menemani
setiap perjalanan menuju lokasi. Dari anak kecil hingga orang dewasa berdiri di
pinggir jalan membawa kotak amal. Pemuda-pemuda di pinggir jalan tidak berhenti
berteriak meminta air untuk kebutuhan pokok. Walau tidak diberi, tapi mereka
masih bisa tersenyum.
Dusun Luk Barat
Dusun
Luk Barat adalah salah satu dusun dengan tingkat kehancuran yang tinggi. Lokasinya
lumayan ke dalam melewati jalan-jalan kecil yang belum diaspal. Seluruh
bangunan di dusun ini roboh. Tidak ada manusia lagi di tempat ini. Hanya ada
suara hewan ternak yang tidak terurus karena pemiliknya pergi mengungsi ke
dataran tinggi. Hewan-hewan ternak itu kelihatan sedih dan bingung. Saya tidak
tau mereka sudah makan atau belum. Ingin memberi makanan tapi tidak ada makanan
yang saya bawa dari rumah.
Kami memutuskan untuk mencari posko pengungsian warga Dusun Luk Barat dengan bertanya ke beberapa warga di sekitar jalan raya.Ternyata warga-warganya mengungsi ke dataran tinggi di sekitar Desa Santong. Kami langsung berangkat ke tempat tujuan.
Sampailah
kami di posko pengungsian warga Dusun Luk Barat.Tenda besar beratapkan terpal
biru membentang luas di dataran tinggi yang kering. Ribuan orang duduk di bawah
atap biru. Suara tangis anak kecil mengiringi kedatangan kami. Para orang tua
tampak sibuk mengiris-iris antap
(kacang panjang). Anak laki-laki berumur 4 tahun kencing berdiri di tempat itu
tanpa ada air untuk membasuh. Mata memerah menghiasi duka. Mereka menatap ke
arah kami dengan penuh harapan. Donasi yang kami bawa ternyata sangat terbatas.
Untuk menghindari cemburu sosial, kami memberikan donasi tersebut kepada
koordinator posko. Saya berusaha menahan air mata.
Kembali Ke Posko KKP… (8
Agustus 2018)
Pagi
itu orang-orang di posko KKP sibuk membungkus nasi dan mengisi air dengan botol
plastik besar. “Gimana keadaan keluarga
dan rumah fadil ?” tanya Ibu Kades khawatir. “Alhamdulillah semuanya baik-baik aja ibu” jawabku senyum. “Syukur dah kalo begitu nak” tanggap ibu.
Ternyata makanan dan minuman tadi akan dibawa ke Dusun Paoq Rempeq, Desa
Genggelang, Kecamatan Gangga, KLU. Saya memasukkan ratusan bungkusan nasi itu
ke dalam plastik merah, mengangkut donasi lainnya ke mobil. Pukul 8.40 WITA
saya berangkat bersama Ibu kades dan rombongan remaja Lelong.
Setengah
perjalanan sudah ditempuh, namun kami menemukan mobil-mobil yang berderet
panjang ke arah utara. Laju kendaraan hanya 1 meter per 10 menit. Entah kami akan
sampai jam berapa di tempat tujuan. Mau putar balik juga tidak bisa karena di
jalur sebelah sudah full dengan roda
dua. Menunggu adalah jalan satu-satunya untuk sampai ke lokasi.
Lokasinya
cukup ekstrim untuk pengendara pemula. Jalan beraspal retak parah dengan
pemandangan jurang menyeramkan. Untung para driver-nya
hebat-hebat. Jalan setapak ke dusun tersebut juga belum diaspal dan sempit.
Memang lebih mudah dan aman kalau menggunakan roda dua.
Kondisi Atap Masjid Paoq Rempeq Pasca Gempa |
Kami
tiba pada pukul 17.40 di Dusun Paoq Rempek. 95 persen bangunan di dusun ini tak
layak huni. Semuanya pakai tenda. Ketika berkeliling melihat kondisi dusun ini,
saya bertemu dengan seorang ibu muda yang sedang menggendong bayi. Tampak bayi
masih berumur baru dilahirkan. Setelah ngobrol sedikit dengan sang ibu, ternyata
bayinya lahir tanggal 5 Agustus 2018. Sebuah angka yang tidak bisa dilupakan
warga Lombok. Dengan rahmat Tuhan, Ibu dan anak itu selamat dari guncangan
dahsyat tanpa luka sedikitpun.
Seorang Ibu yang melahirkan saat gempa
(Sorry lupa nama ibu dan bayinya)
|
The Second 7, 0…
Malam
itu adalah malam terakhir saya bercanda ria bersama teman-teman KKP dan
masyarakat Lelong. Acara dzikiran yang diiringi sambutan Ibu Kades dan salah
satu teman KKP saya membuat suasana begitu haru. Bahagia pun tidak lupa hadir
saat moment itu. Adik-adik di Desa Lelong memberi kami bingkisan lucu untuk
dibawa pulang.Beberapa dari mereka juga banyak yang menulis surat kecil untuk
kami. Tanpa sadar air mata kami tiba-tiba jatuh. Unforgettable moments!
Usai
merajut kenangan bersama msayarakat Lelong, saya dan teman-teman KKP lainnya
membuat lingkaran kecil terakhir. Kami sudah membuat banyak konsep pada malam
terakhir itu. Niatnya konsep-konsep itu mampu meninggalkan kesan dan pesan
indah. Namun sebelum niat tersebut dilakukan, tiba-tiba tanah bergemuruh dengan
cepat. Rasanya seperti diayunan. Listrik padam seketika. Kejadian ini persis
seperti malam 5 Agustus. Pingsan dan tangisan kembali datang. Seperti biasa,
BMKG selalu menginformasikan kekuatan gempa setelah gempa terjadi. Notification 7, 0 SK dengan status
“Tidak Berpotensi Tsunami” muncul di layar utama smartphone saya. Suasana semakin histeris! Saya tetap berusaha
menenangkan teman-teman. Layaknya Psikolog dadakan.
The Last Day In The Morning!
Fajar
terbit di penghujung ke-20 Agustus. Ini menandakan kami tidak serumah lagi.
Pagi terakhir itu kami sibuk menyiapkan barang-barang yang akan dibawa pulang
ke rumah. Mata anak-anak kecil dan warga sekitar posko memerah menyaksikan kami
semua. Seperti tidak ikhlas melepaskan kepergian kami di kampong halaman
mereka. Kami pun merasa sudah menjadi bagian dari mereka. Air mata tidak dapat
terbendung lagi. Kami berpelukan satu sama lain sambil mengucapkan kata-kata
kenangan. Pagi dan malam penuh air mata!
Kekeri
terasa berbeda ketika pulang dalam keadaan bencana besar. Satu bulan lebih saya
tidur di luar rumah. Itupun tanpa rasa tenang. Tidak seperti sebelum gempa
menghantam Lombok. Segala aktivitas terganggu oleh sugesti negatif karena gempa
datang setiap menit.
Biasanya
menyambut weekend, saya tetap hunting photo bersama kakak sepupu saya.
Bersendau gurau dengan bisikan angin,
menikmati hijaunya alam bersama kicauan burung-burung liar, menyentuhkan kulit
dengan aliran air sungai dan menikmati pantulan sunset dari bilik pohon-pohon.
Tapi setelah gempa datang ke Lombok, saya sama sekali tidak pernah melakukan
semua itu lagi. Negative thinking
selalu menghantui setiap perjalanan yang saya lalui. Bahkan ke pantai saja saya
masih berpikir “jangan-jangan gempa trus tsunami”.
Hunting foto di Persawahan Bukit Tinggi
|
Hunting foto di Desa Sade |
Sebelumnya saya sering mengambil gambar pantai, air terjun, bukit, tebing dan tempat-tempat indah lainnya, tapi semenjak gempa Lombok, di gallery hp saya hanya tersimpan gambar reruntuhan rumah dan aktivitas warga Lombok saat gempa terjadi. Tangan dan mata saya tidak bersemangat seperti dulu ketika memotret sesuatu. Sejak saat itu, saya tidak pernah senyum ketika mendapatkan hasil foto yang saya inginkan. Malah meneteskan air mata. Saya tidak pernah menyangka tanah kelahiran saya akan menemukan kejadian seperti ini.
Semua
pekerjaan warga Lombok terhambat bahkan hilang. Tidak terkecuali kakak sepupu
saya. Sudah susah-susah dapat pekerjaan setahun lalu malah harus kehilangan
pekerjaan karena gempa melanda. Agustus adalah bulan duka dan kesedihan bagi warga
Lombok. Laksana raga tanpa ruhnya.
Saya
terus berdo’a dan berharap Lombok bisa cepat pulih seperti dulu lagi.
Infrastruktur daerah segera direkontsruksi, kepingan-kepingan rumah didirikan
lagi sehingga membawa senyum dan kebahagiaan masyarakat Lombok seperti
sediakala. Saya percaya Lombok pasti Bangkit! Amiin….!!
Semoga
bermanfaat!
Cerita yg menarik.. Sya jg punya pngalaman yg hampir sama disaat gempa 7 SR itu trjadi ...
ReplyDeleteYang bareng Tim Patrick Kan ? LoL
DeleteEhh mana tulisan yg baru, ini udah tahun 2020
ReplyDeleteAda noh.
Delete